Saturday 4 July 2015

catatan mas danu : sebuah keikhlasan

Pak Parno, seorang tukang tambal di jl kebon kacang raya berpenampilan sangat sederhana, menyesuaikan profesinya kira kira demikian. Bila didekati dan bercakap dengannya, tak terlihat sama sekali aura relijiusnya, baik dari ucapan apalagi atribut. Yang mengejutkan bagi saya, hidupnya penuh kepasrahan diri. Itu terbukti beberapa kali customer yang tidak punya uang sama sekali dilayani dg baik,  diperbolehkan membayar besoknya, padahal kenal pun tidak. Saya terkesima mengingat ini di Jakarta, lalu saya pun bertanya;" Pak Parno ndak takut kalau tidak dibayar? Ban dalam saja sdh 50rb, ini jakarta lho pak!", tandas saya menguji. Pak Parno menjawab kalem:"Ah, saya pasrah saja dlm hidup dik! yang penting saya sdh menolong, perkara kembali kesini dan membayar ya berarti orang tsb jujur. Sudah biasa ada yg kembali meski dari Cengkareng, tapi ada yg tetangga sendiri tapi tdk mau bayar".

Seorang kepala bagian SDM yg pernah saya kenal sewaktu menjadi atasan saya pun mirip2 dengan Pak Parno modusnya, 11-12. Kabag tsb sama sekali tidak relijius baik perkataan maupun penampilan fisiknya namun berbuat nyata dengan tindakan drpd kumpulan kata-kata suci nan menghanyutkan. Beliau sangat peduli dengan bawahan; memperjuangkan kenaikan gaji, memperjuangkan status pegawai tetap dll, bahkan tak sedikit yg dibantu olehnya untk urusan2 yg sifatnya pribadi, sebut saja pinjaman. Namun sama dg nasib Pak Parno, ada yg membayar ada yg tidak.

Dari cerita diatas, lantas saya merenung. Ada ungkapan yg cerdas untuk menggambarkan situasi tsb: "Dont judge book by its cover" yg secara dangkal saya gambarkan untk kedua kasus cerita tsb. Selain kedua orang yg memiliki typikal sama tsb lantas saya ingat pula dg seseorang pimpinan perusahaan yg dikenal sangat relijius, suka membagi wejangan dengan selipan kata2 suci. Memang baik juga, namun masih pada taraf permukaan, sebatas kata-kata tanpa teladan perbuatan nyata, bahkan justru karyawan bawahanlah yg dipaksa memahami kebijakan2nya bila itu bicara efisiensi, lbh banyak retorika dan bila menuntut sebuah kepatuhan, lantas terlahir sebuah pemberian harapan2 indah dg alasan jangka panjang dsbnya.

Disini saya td berpretensi untuk gegabah  memberikan penilaian, atau tergoda membuat penghakiman baik dan buruk. Sy hanya sharing saja atas kasus2 tsb yg sering kita hadapi tidak seseindah cerita2 sinetron yg dalam visual nya membuat pemisahan baik buruk dengan hal-hal lahiriah ( bahasa visual nya).

Bila dicermati, bisa jadi, yang bertindak relijius tsb masih taraf belajar menuju kematangan hidup, lantas yg sdh pasca dan purna dg relijius justru mengedepankan perbuatan nyata dan keteladanan bagi sesama.

"Pohon dikenal dari buahnya", scr dangkal saya gambarkan untk mewakili karakter manusianya: ada pohon yg buruk rupa namun manis buahnya, ada pohon yg rindang tinggi menjulang namun tidak berbuah apa apa. Buah adalah sbg perlambang 'hidup yang berdampak bagi sesamanya manusia".

Hidup itu indah, tak ada ruang untuk ragu.
Salam, Daniel Nugroho.

No comments:

Post a Comment